.Header { width: 78%; } .Header-RC { width: 20%; float: right; padding: 30px; } .Header-RC .widget { margin: 0px; } .Header-RC img { border: 1px solid orange; border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; -webkit-border-radius: 3px; -goog-ms-border-radius: 3px; box-shadow: 0px 0px 8px 1px orange; }
on Kamis, 28 November 2013
Malam Natal tahun 2000. Ia bernama Riyanto, kala itu berusai 25 tahun, satu dari empat orang Banser NU yang dikirim GP Ansor Mojokerto untuk menjaga perayaan Natal di gereja Eben Haezer, Mojokerto.

Semula, Misa Malam Natal itu berlangsung dengan khusyuk seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi ternyata hanya berlangsung separuh jalan. Sekitar pukul 20.30 WIB, seorang jemaat menaruh curiga pada sebuah bingkisan yang tergeletak tak bertuan di depan pintu masuk gereja.

Riyanto pun memberanikan diri membuka bingkisan itu. Ia membongkar kantong plastik hitam itu di hadapan petugas pengamanan gereja Eben Haezer lainnya, termasuk seorang polisi Polsek setempat. Di dalamnya tampak menjulur sepasang kabel. Tiba-tiba muncul percikan api. Riyanto langsung berteriak sigap, "Tiaraaaapp!" dan kemudian terjadi kepanikan dalam Gereja.

Riyanto segera keluar ruangan dan melemparkan bungkusan bom itu ke tong sampah, namun terpental. Ia kemudian berinisiatif mengamankan bom dengan memungut kembali untuk dilemparkan ke tempat yang lebih jauh lagi dari jemaat. Namun, Allah SWT berkehendak lain, bom mendadak meledak dalam pelukan Riyanto sebelum sempat dilempar.

Tubuh pria itu terpental, berhamburan. Sekitar 3 jam kemudian, sisa-sisa tubuh Riyanto baru ditemukan di sebelah utara kompleks gereja, sekitar 100 meter dari pusat ledakan. Jari dan wajahnya hancur, Riyanto pun meninggal seketika.
Bom ini tanpaknya tidak main-main. Ledakannya membuat roboh pagar tembok di seberang gereja. Bahkan kaca-kaca lemari dan etalase Studio Kartini yang tepat di depan gereja Eben Haezer hancur semua. Ledakan ini bukan satu-satunya. Pada saat yang hampir sama, beberapa gereja yang lain juga terkena bom dan menelan korban jiwa.

Pria Muslim yang lahir dari pasangan Sukarnim dan Katinem ini banyak dipuji orang. Seorang Muslim sejati yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan orang lain yang sedang merayakan. Gus Dur pernah berujar, “Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai pengorbanannya.”

Kini, setelah 11 tahun peristiwa itu berselang, nama Riyanto hampir tidak pernah disebut, apalagi untuk diteladani semangat perjuangan dan rasa kemanusiaan Riyanto. Sungguh hal ini sangat ironis, bila dibandingkan dengan keteguhan jiwa Riyanto yang muslim, mau mengorbankan jiwa dan raganya untuk menyelamatkan ratusan nyawa jemaat gereja Eben Haezer.

Di tengah banyaknya aksi kekerasan mengatasnamakan agama seperti yang belakangan ini sering terjadi, sosok dan pengorbanan Riyanto, patut menjadi teladan bagi kita semua, tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan, suku, ras maupun golongan.
Jakarata, NU Online
Pemandangan tak lazim mewarnai aksi panggung Ki Enthus Susmono saat mendalang pada peringatan seribu hari kewafatan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (26/9) malam. Kecuali blangkon, Ki Enthus bersama puluhan anggota timnya tak mengenakan pakaian adat Jawa melainkan seragam lengkap Barisan Ansor Serbaguna (Banser).

“Nyuwun pangestune Gus, Kulo damel seragam Banser mubeng-mubeng (minta izin Gus, saya memakai seragam Banser berkeliling) untuk membela Islam Ahlussunnah wal Jama’ah,” tuturnya dalam dialog imajiner bersama Gus Dur.
“Ya, silakan aja. Lha wong gitu aja kok repot,” jawab Gus Dur seperti ditirukan Ki Enthus.

Ki Enthus mengaku yakin, Gus Dur sedang hadir dalam pagelaran wayang kulit dengan lakon “Kumbokarno Gugur” itu. Pementasan dimaksudkan untuk mengenang dan memberi pesan kebaikan kepada masyarakat tentang perjuangan Presiden RI ke-4 ini.

Di temani Megan, seorang sinden asal Amerika Serikat, Ki Enthus bersama sinden lainnya juga melantunkan beberapa lagu bernuansa NU, seperti Qasidah Nahdlatul Ulama karya KH Fuad Hasyim Buntet, Mars Gerakan Pemuda Ansor, serta sejumlah shalawat lainya.

Pembukaan pagelaran ditandai dengan penyerahan wayang kulit oleh Ki Enthus kepada istri almarhum Gus Dur Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Ribuan pengunjung dari berbagai tempat tampak antusias mengikuti pertunjukan khas Nusantara ini.

Ketua Umum GP Ansor Nusron Wahid mengatakan, keberhasilan islamisasi di Indonesia tak lepas dari dakwah kultural yang dilakukan para wali, termasuk lewat wayang. Hal inilah yang kemudian membedakan keberagamaan NU dengan lainnya.

“Kita bersyukur, kita bisa NU bukan karena jihad (perang), tapi karena wayang,” ujarnya dalam sambutan pagelaran wayang yang baru berakhir Kamis Subuh tadi.